
Di tengah derasnya invasi striker elite ke Premier League, tiba-tiba muncul nama yang bikin orang mikir: “Ini siapa sih?”
Rambutnya selalu rapi, wajahnya kayak model iklan parfum, dan… dia jago banget nendang bola ke gawang.
Graziano Pellè, striker Italia yang datang ke Inggris dari Eredivisie dan bikin fans Southampton jatuh cinta cuma dalam waktu beberapa minggu.
Pellè bukan sekadar good looking. Dia itu paket komplet striker klasik — tinggi, kuat, pinter cari ruang, dan punya kaki yang “dingin” di kotak penalti. Tapi kayak kisah klasik lainnya, kariernya naik secepat dia datang, dan turun dengan cara yang nggak banyak disadari publik.
Yuk, kita kulik dalam-dalam kenapa Graziano Pellè pernah jadi jantungnya Southampton… dan kenapa dia begitu cepat menghilang dari peta elite sepak bola.
Awal Karier: Italia yang Bikin Bingung
Lahir di Lecce, Italia, tahun 1985, Pellè tumbuh besar di negara yang penuh dengan striker tajam: dari Totti, Del Piero, sampai Inzaghi. Tapi karier awal Pellè nggak langsung mulus. Di Lecce, dia cuma dapet sedikit kesempatan. Akhirnya, dia muter-muter ke berbagai klub Italia — dari Catania, Crotone, sampai Cesena.
Hasilnya? Gak ada yang bener-bener klik.
Pellè itu striker yang butuh sistem yang pas. Dia bukan pemain yang bisa hidup dari satu dua peluang. Dia butuh bola matang, crossing tajam, dan ruang buat duel udara.
Dan ternyata, tempat yang paling cocok sama gaya main dia malah bukan di Italia… tapi di Belanda.
Meledak di Belanda: Feyenoord Jadi Rumah Kedua
Setelah sempat main di AZ Alkmaar dan kembali ke Italia, Pellè balik lagi ke Belanda, kali ini ke Feyenoord.
Dan boom. Di klub inilah dia berubah dari “striker biasa” jadi raja kotak penalti.
Dalam dua musim bareng Feyenoord, Pellè nyetak 50 gol lebih. Dia jadi striker utama, kapten di lapangan, dan fan favorite. Dengan postur 194 cm, heading kuat, dan sentuhan akhir yang presisi, dia bener-bener momok buat bek lawan.
Pellè bukan tipe striker yang cepat, tapi sekali dapet bola di kotak penalti, kemungkinannya masuk itu tinggi banget.
Karena performa brutal itu, dia dilirik oleh pelatih lamanya di Feyenoord: Ronald Koeman — yang kebetulan lagi ngebangun ulang Southampton di Premier League.
Southampton: Era Klassy yang Gak Banyak Diulang
Ketika Pellè pindah ke Southampton tahun 2014, banyak fans EPL yang skeptis. Striker dari Eredivisie gak selalu sukses di Inggris. Tapi Koeman tahu apa yang dia butuhin: striker tinggi, target man, dan bisa finishing bola-bola liar.
Pellè langsung nyetel.
- Musim 2014/15: 16 gol di semua kompetisi
- Southampton finish di posisi 7
- Duetnya bareng Tadić dan Mané solid banget
- Pellè jadi target man paling “necis” di EPL
Yang bikin fans suka? Dia bawa aura beda. Gak cuma soal rambut klimis dan tampang chill, tapi karena dia main dengan gaya yang smooth dan percaya diri. Tendangan voli, backheel, sundulan last minute — semua ada.
Dia bukan tipe striker yang cari banyak momen. Dia cukup satu peluang, dan boom: gol.
Skillset: Gak Cuma Heading, Bro
Orang sering salah kira kalau Pellè itu cuma striker jangkung yang ngandelin sundulan. Padahal enggak. Skillset dia justru underrated banget:
- Teknik Finishing Elegan – Banyak golnya bukan dari chaos, tapi dari sentuhan akhir yang bener-bener tenang.
- Control di Kotak Penalti – Dia sering dapet bola dengan punggung ke gawang dan bisa hold up play buat ngasih waktu temannya naik.
- Link-up Play Rapi – Main bareng pemain cepat kayak Mané, dia bisa jadi pemantul yang efektif.
- Tendangan Voli dan First-time Shot – Signature Pellè banget. Dia sering banget nyetak gol dari bola rebound yang sekali tembak langsung masuk.
Ikonik di Euro 2016: Italia Main Cantik, Pellè Tajam
Pellè dapet panggilan timnas Italia dan langsung tampil gacor di Euro 2016.
Di bawah Antonio Conte, Italia main dengan sistem yang sangat taktikal — dan Pellè cocok banget di skema itu.
Dia cetak gol lawan Belgia dan Spanyol.
Gol lawan Spanyol? Super clean. First-time finish yang bener-bener nunjukin teknik striker kelas atas.
Italia waktu itu sampai perempat final sebelum kalah adu penalti dari Jerman. Dan tragisnya? Pellè gagal penalti… setelah sempat “ngejek” Neuer sebelum nendang.
Momen itu viral — dan jadi turning point buat banyak orang yang mulai mempertanyakan ego dan mentalitasnya.
Hijrah ke China: Dompet Tebal, Spotlight Redup
Setelah Euro, Pellè tiba-tiba pindah ke Shandong Luneng di Liga Super Tiongkok. Waktu itu gajinya tembus £13 juta per tahun, jadi salah satu pemain bergaji tertinggi di dunia.
Gila? Iya.
Kaget? Jelas.
Tapi masuk akal? Bisa jadi.
Pellè waktu itu udah 30-an, dan kesempatan dapet kontrak gede banget ya emang jarang. Tapi sayangnya, ini juga jadi akhir karier elite dia di Eropa.
Dia tetap nyetak gol di China, tapi spotlight-nya udah redup. Dan timnas? Gak pernah manggil dia lagi setelah Euro 2016.
Comeback Kilat: Parma dan Pensiun Diam-Diam
Tahun 2021, Pellè sempat balik ke Italia dan gabung Parma. Tapi waktunya udah telat. Dia cuma main sebentar, gak nyetak gol banyak, dan akhirnya pensiun diam-diam.
Tanpa farewell besar, tanpa standing ovation di stadion Premier League. Tapi bukan berarti dia dilupakan.
Kenapa Pellè Tetap Diingat?
Bukan cuma karena dia ganteng. Tapi karena:
- Dia datang ke Premier League dan langsung ngasih impact nyata.
- Main cuma dua musim di Southampton, tapi langsung jadi top scorer klub selama periode itu.
- Di momen krusial Euro 2016, dia jadi striker utama Italia — sesuatu yang gak gampang di negara penghasil penyerang tajam.
- Dia punya gaya dan swag, tapi tetap efisien.
- Dan dia ninggalin kesan bahwa striker jangkung bisa main dengan cara yang “elegan” dan nggak kaku.
Legacy: Cult Hero yang Bikin Nostalgia
Pellè gak punya Ballon d’Or. Gak main di Real Madrid. Gak punya koleksi trofi kelas dunia.
Tapi dia jadi cult hero — tipe pemain yang mungkin gak dibahas tiap hari, tapi selalu bikin orang senyum waktu inget momen-momennya.
Fans Southampton masih ingat sundulannya. Fans Italia masih inget golnya lawan Spanyol. Dan pecinta highlight sepak bola? Masih sering puter ulang tendangan volley-nya yang satisfying banget itu.